Pameran Foto
The Bali 1928 Archives: Photographic Images from the Beginnings of Bali’s Modern History
18-27 Maret 2016
Rio Helmi Photo Gallery & Café Ubud
Pameran Foto dari arsip Bali 1928 yang bertajuk “Photographic Images from the Beginnings of Bali’s Modern History” ini dipersembahkan oleh STMIK STIKOM Bali dan fotografer kenamaan Indonesia, Rio Helmi, dan akan berlangsung dari tanggal 18 -27 Maret 2016 di Rio Helmi Photo Gallery & Café, Ubud.
Adapun foto-foto yang dipamerkan merupakan koleksi Arsip Bali 1928 yang selama ini dikerjakan oleh Dr. Edward Herbst, Arbiter of Cultural Traditions New York, dan STMIK STIKOM Bali.
Arsip Bali 1928 merupakan hasil pemugaran, penyebaran, dan pemulangan kembali warisan pusaka seni dan budaya Bali dari tahun 1930-an, termasuk puluhan rekaman komersial ‘long lost recordings’ piringan-piringan hitam karya label rekaman Jerman, Odeon & Beka yang dilakukan pertama kalinya di Bali pada tahun 1928-29, kemudian rekaman-rekaman film 16 mm bisu-hitam-putih yang dilakukan oleh peneliti-peneliti berpengaruh Colin McPhee, Miguel Covarrubias, dan Rolf de Maré, dan terakhir puluhan foto-foto tentang masa kesejarahan modern Bali pada masa tahun 1930-an oleh Colin McPhee, Walter Spies, Arthur Fleischmann, Jack Mershon dan lain-lain.
Arsip Bali 1928 ini berangkat dari upaya Dr. Edward Herbst, yang dengan tekun selama bertahun-tahun mengumpulkan aneka piringan hitam pada masa Bali sekitar tahun 1928-29 – dikumpulkan dari berbagai pusat arsip di seluruh dunia. Kekayaan koleksi audio tersebut dipugar kembali kualitasnya oleh Allan Evans dari Arbiter of Cultural Traditions di New York, sedangkan cuplikan-cuplikan film disunting oleh tim STMIK STIKOM Bali di bawah arahan video editor Ridwan Rudianto. Hasil upaya yang gigih tersebut kemudian dihadirkan kembali oleh STMIK STIKOM Bali dalam lima volume CD dan DVD, juga disertai naskah-naskah hasil penelitian oleh Dr. Edward Herbst.
Dan kini, serangkaian upaya luar biasa dan berharga dari Arsip Bali 1928, STMIK STIKOM Bali bekerjasama dengan Rio Helmi melaksanakan pameran terkait memorabilia dimaksud, khususnya koleksi foto-foto yang berhasil dikumpulkan dan direpatriasi ‘dipulangkan kembali’ oleh tim Arsip Bali 1928.
Rio Helmi tidak saja bertindak sebagai kurator pameran – memilih, mengatur dan memberi perhatian penuh atas pameran ini – namun juga menjadi pemugar kualitas foto-foto yang telah berusia tersebut, termasuk melakukan color adjustment, cropping dan printing ‘pencetakan’ file-file digital yang dipercayakan oleh pusat-pusat arsip dunia kepada Arsip Bali 1928. Mengingat kualitas file-file digital yang rata-rata tidak dalam format asli ataupun hi-res, proses pencetakan pun tidaklah sembarang, dilakukan dengan pengaturan khusus di atas kertas berjenis archival photographic paper, sehingga foto-foto yang baru tercetak tak cepat memudar dan bertahan sampai puluhan tahun ke depan.
Di tengah keterbatasan media asli dan tanpa melakukan touch-up ‘rekayasa digital’ atas perwajahan foto-foto tersebut, Rio Helmi berhasil menghadirkan kembali ranah kesejarahan Bali modern 1930-an tersebut secara otentik, akurat namun dengan ‘jiwa baru’.
Bagi Rio Helmi, pemugaran dan pameran kekayaan visual Bali 1930-an ini amat penting mengingat imaji-imaji masa lalu tersebut merupakan lorong waktu akan generasi tetua Bali yang penuh pemberontakan kreatif, berani, penuh pengabdian dan yang terpenting, terbuka dengan perubahan masa.
Imaji ‘masa muda’ Ida Bagus Oka Kerebuak, Marya, Kaler, Lotring, Ni Gusti Putu Rengkeg, Ni Pempen dan lain-lain sungguh-sungguh mengharukan dan membangkitkan kenangan akan masa ‘renaissance’ kesenian Bali yang teguh sepanjang jaman.
Pameran akan dibuka pada Jumat, 18 Maret 2016 pada 18.00 WITA bertempat di Rio Helmi Photo Gallery & Café, Jalan Suweta 6B, Ubud, Bali. Dalam pameran yang akan berlangsung dari Jumat, 18 Maret sampai dengan 27 Maret 2016, akan dipajang kurang lebih 40 hasil reproduksi foto-foto kuna, yang juga disertai pemutaran rekaman-rekaman dan film-film bersejarah Bali 1928, serta pelbagai kesempatan diskusi.
Sesi-sesi berbagi ini di antaranya:
- Sabtu, 19 Maret 2016 | 16.00-18.00 WITA – Pemaparan tentang Bali 1928 “Bali 1928: Retrieving the Past for a Creative Future” bersama peneliti utama Bali 1928, Dr. Edward Herbst.
- Minggu, 20 Maret 2016 | 16.00-18.00 WITA – Temu-bincang dengan Rio Helmi “The World of Visual Archives” khususnya tentang pentingnya pusat arsip dan dokumentasi audio-visual di Bali.
- Rabu, 23 Maret 2016 | 16.00-18.00 WITA – Marlowe Bandem, koordinator Bali 1928 di Bali akan berbagi pengalaman tentang Bali 1928 dalam “The Magnitude of Bali”
Selama pameran, Rio Helmi Photo Gallery & Café juga akan melakukan pemutaran ‘screening’ cuplikan-cuplikan film Bali 1928 yang telah dipugar dan disunting dari dokumentasi karya Colin McPhee, Miguel Covarrubias, dan Rolf de Maré.
Adapun film-film ini tak hanya berkisah tentang panorama alam Bali di masa tahun 1930-an, namun juga mengungkap tokoh-tokoh dan sekaa-sekaa legendaris Bali termasuk Ida Boda, I Marya, I Sampih, I Gede Manik, Gong Jineng Dalem, Ida Pedanda Made Sidemen, I Gusti Ketut Kandel, I Made Sarin, Ni Nyoman Polok & Ni Luh Ciblun (Légong Kelandis), Gamelan Palégongan Kapal, Ni Gusti Made Rai & Ni Gusti Putu Adi (Légong Belaluan), I Wayan Lotring (Gamelan gendér wayang Kuta), dan lain-lain.
Cuplikan-cuplikan lain termasuk pementasan Barong Kebon Kuri, Gambang di Pura Kawaitan Kelaci, Légong Saba, Gamelan Gong Luang Singapadu, Baris Goak Jangkang, Nusa Penida, Jangér Kedaton, Gamelan Geguntangan Batuan, Barong Landung, Jangér dan lain lain.
Beberapa ritual penting seperti upacara Nangkluk Mrana, Pura Beda, Tabanan dengan Jogéd Bungbung Déwa, Méndet di Pura Dalem Sayan, Ubud, pelbagai upacara piodalan dan ngabén pun termasuk dalam pemutaran film ini.
Beberapa cuplikan tentang persembahan tari oleh Walter Spies dan Katharane Mershon, kunjungan Colin McPhee dan Jane Belo di Singapore/Surabaya dan Rosa Covarrubias dalam busana adat Bali pun melengkapi acara screening yang akan berlangsung setiap hari selama pameran berlangsung.
Sebagai catatan, Colin McPhee (1900-1964) adalah seorang komponis dan pianis asal Kanada, yang ketika menetap di New York pada sekitar tahun 1930 mendengar untuk pertama kalinya beberapa hasil rekaman dari Odeon. Dalam memoirnya, A House in Bali, ia menulis, “Tak pernah kubayangkan sebelumnya bahwa beberapa piringan hitam itu akan merubah keseluruhan hidupku, mendorong dan membawaku kemari, mencari musik dan pengalaman yang begitu sulit kujelaskan…” McPhee dan istrinya, Jane Belo yang juga seorang antropolog tiba di Bali pada tahun 1931 dan mereka giat melakukan penelitian selama kurun waktu tahun 1931-38, dan ini adalah sebagian dari film-film yang dibuat McPhee.
Miguel Covarrubias (1904-1957) adalah seorang kartunis, ilustrator dan pelukis asal Meksiko yang berkesempatan tinggal di Bali pada masa tahun 1930-an, ditemani istrinya, Rosa Covarrubias, melakukan penelitian tentang alam, seni, bahasa, dan adat-istiadat Bali. Bukunya Island of Bali adalah salah satu karya tulis yang berhasil menarik perhatian masyarakat dunia, khususnya New York akan Bali. Buku tersebut dilengkapi dengan
karya fotografi oleh Rosa Covarrubias.
Kemudian, Rolf de Maré (1888-1964) adalah seorang kolektor seni ternama dunia berkebangsaam Swedia yang dalam kurun waktu satu tahun, 1937-1938, berhasil mengumpulkan 49,000 kaki rekaman film 16-mm tentang tari di Sumatra, Jawa, Bali dan Sulawesi.
Pameran, pemutaran film dan sesi-sesi diskusi terbuka untuk umum, dan tiket masuk gratis. Parkit motor dan mobil berbayar tersedia di Central Parkir Jalan Suweta, yang terletak 300 meter di sebelah utara dari galeri.
———————
Sekilas Bali 1928
Dr. Edward Herbst menulis bahwa rekaman-rekaman bersejarah ini dibuat pada tahun 1928 (dan kemungkinan juga pada tahun 1929) sebagai bagian dari sebuah koleksi yang pertama kali dan satu-satunya diluncurkan secara komersial di Bali pada masa sebelum Perang Dunia II. Diluncurkan pada tahun 1929 dalam format piringan hitam 78 rpm, cakram-cakram yang diedarkan secara internasional tersebut bermaterikan beragam pilihan gamelan dan tembang Bali baik bergaya lama maupun baru. Dijual ke seluruh penjuru dunia (atau seperti yang terjadi kemudian ternyata tidak laku untuk dijual), piringan-piringan hitam tersebut secara cepat habis dan hilang dari peredaran. Saat itu merupakan masa yang sangat penting dalam kesejarahan gamelan Bali mengingat di seantero pulau tengah terjadi revolusi seni dengan menonjolnya kebyar sebagai gaya gamelan yang baru dan berkuasa. Kelompok-kelompok gamelan berpacu melebur gamelan kuna mereka, untuk ditempa ulang ke dalam gaya yang baru tersebut. Persaingan yang sengit antara desa-desa berikut daerah-daerah merangsang para komponis muda untuk mengembangkan berbagai inovasi dan teknik permainan yang apik dan baru.
Terkait rekaman-rekaman bersejarah ini, Andrew Toth (1980:16-17) menulis:
Perwakilan dari perusahaan rekaman Odeon dan Beka dikirim pada bulan Agustus tahun 1928 untuk memperluas cakupan mereka sampai ke Bali. Lima dari sembilan puluh delapan matriks (sisi piringan hitam) yang tersedia saat itu dipilih dan disertakan dalam sebuah antologi musik tradisi non-Barat bertajuk “Music of the Orient” oleh peneliti termasyur Erich M. von Hornbostel. Koleksi inilah yang mengawali ketertarikan banyak orang, masyarakat luas, dan juga kaum etnomusikolog akan musik Indonesia.
Sepertiga dari hasil rekaman Odeon dan Beka akhirnya muncul di Eropa dan Amerika, namun sebagian besar sejatinya ditujukan untuk pasar lokal di Bali. Berkaitan dengan tujuan tersebut, informasi pada label-label piringan hitam pun dicetak dalam bahasa Melayu, bahasa pengantar yang berlaku di wilayah kepulauan Nusantara, dan malahan ada yang ditulis dalam aksara Bali. Rencana ambisius untuk mengembangkan pasar lokal itu akhirnya berujung kegagalan total karena terbatasnya minat masyarakat Bali terhadap teknologi baru dan mahal tersebut, terutama karena mereka dengan mudah bisa menyaksikan secara langsung berbagai pementasan yang hadir setiap harinya secara marak di ribuan pura dan rumah-rumah di seluruh pulau. Hanya Colin McPhee yang muncul sebagai pelanggan, membeli cakram-cakram 78 rpm itu sepanjang tahun dari seorang penjual yang putus asa; dan kebanyakan koleksinya masih dilestarikan dengan baik sampai hari ini, selamat dari kekecewaan dan kemarahan sang agen yang menghancurkan semua stok yang tersisa (McPhee, 1946: 72).
Menariknya, semua rekaman dilakukan di bawah bimbingan Walter Spies, seorang pelukis dan musisi yang pengetahuan intimnya tentang seni dan budaya Bali tersedia begitu bebas dan kerap menguntungan penelitian atau karya pihak lain (Rhodius, 1964: 265; Kunst, 1974: 24). Walau dibatasi oleh sarana yang hanya berdurasi tiga menit, rekaman-rekaman tersebut adalah contoh menakjubkan dari kekayaan genre musikal baik vokal maupun instrumental, serta generasi komponis, seniman dan sekaa ‘kelompok’ gamelan masa itu yang kini dihormati sebagai guru-guru terpandang dan sekaa-sekaa legendaris, seperti I Wayan Lotring, I Nyoman Kalér, gamelan gong Pangkung, Belaluan, dan Busungbiu. Dokumentasi suara dari berbagai warisan dan pusaka musikal Bali yang tak ternilai harganya memuat berbagai gaya nyanyian yang nyaris tak terdengar saat ini; lalu Kebyar Ding, sebuah gubahan tabuh yang secara historis sangat penting, yang kini bisa dipelajari kembali oleh generasi penabuh masa sekarang melalui rekaman-rekaman yang dahulunya dibuat oleh para ayah dan kakek mereka seperti yang termuat dalam cakram-cakram asli tersebut; dan juga berbagai rekaman para penyanyi terkenal yang bahkan disakralkan oleh para keturunannya dengan menyimpan salinan kasetnya di pura keluarga.
Demikian sekilas tentang Bali 1928, mari bergabung dengan proyek repatriasi ‘pemulangan kembali’ kekayaan dan keragaman seni dan budaya Bali dari masa lampau ini. Bila pembaca mempunyai keterangan tambahan mengenai identitas orang-orang atau lokasi-lokasi yang terdapat dalam cuplikan film dan foto-foto dalam CD dan DVD, maupun cerita dan sejarah yang berkaitan dengan proyek penelitian ini, mohon kirimkan data dan informasinya ke alamat email info@bali1928.net untuk kami pelajari lebih lanjut.
Di abad ke-21 ini, kami menemukan rasa ingin tahu yang tinggi di Bali terhadap masa lalunya, berusaha menemukan apa yang sesungguhnya penting dalam kebudayaan Bali. Minat yang begitu tinggi, yang belum pernah ada sebelumnya, terhadap rekaman-rekaman bersejarah ini di antara para penabuh, penari dan penyanyi, baik muda dan tua, kian membesarkan hati kami dalam mengerjakan – selama bertahun-tahun dan lintas benua – sebuah proyek repatriasi ‘pemulangan kembali’, mencari arsip-arsip yang tersebar dimana-mana untuk membantu masyarakat Bali masa kini dalam memperoleh dan menikmati kembali kejayaan kesenian masa lampau mereka.
———————
Edward Herbst adalah peneliti utama dari Proyek Bali 1928. Sejak 1972 ia berkali-kali mengunjungi Bali dan belajar dari sejumlah empu: belajar gender wayang dan palegongan dari I Made Gerindem di Teges Kanginan, dramatari klasik Bali dari I Nyoman Kakul di Batuan, dan musik vokal dari I Made Pasek Tempo di Tampaksiring, Ni Nyoman Candri, Wayan Rangkus dan Pande Made Kenyir di Singapadu, serta I Ketut Rinda di Blahbatuh. Saat ini ia adalah peneliti senior di Department of Anthropology, Hunter College – City University of New York.
Proyek penelitian dan penerbitan rekaman-rekaman bersejarah ini didukung sepenuhnya oleh Research Foundation di The City University of New York (CUNY) yang menerima hibah dari The Andrew W. Mellon Foundation dan melibatkan Dr. Edward Herbst sebagai koordinator proyek, etnomusikolog dan peneliti utama, Allan Evans dari Arbiter of Cultural Traditions di New York sebagai ahli pemugaran kualitas rekaman audio piringan hitam, serta Dr. I Made Bandem sebagai penasihat ahli. Rekan penerbit kami di Indonesia adalah STMIK STIKOM BALI yang dipimpin Dr. Dadang Hermawan dengan koordinator proyek Marlowe Makaradhwaja, video editor Ridwan Rudianto, desainer grafis Jaya Pattra Ditya, serta Marlowe Makaradhwaja dan I Wayan Juniartha sebagai penerjemah artikel ini ke dalam bahasa Indonesia.
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.