Record Store Day Bali 2016: Spinning Memories

Record Store Day Bali 2016: Spinning Memories
Rumah Sanur Creative Hub
17 April 2016

Di tengah derasnya pengunduhan, penikmatan dan pembelian musik melalui kanal-kanal digital, sebuah skena tandingan merebak di permukaan: konsumsi rilisan fisik ternyata tak pernah surut. Secara kultural maupun komersial, pribadi-pribadi dan komunitas penikmat vinyl ‘piringan hitam’ dan kaset kian menjamur dan tak pernah hilang keyakinan pada rilisan fisik yang dipandang usang sejak maraknya format semacam FLAC, AIFF dan MP3.

Bahkan, piringan hitam menjadi artefak inti dari Record Store Day (RSD), sebuah agenda tahunan – setiap hari Sabtu ketiga di bulan April – untuk merayakan keberadaan toko musik independen, rilisan fisik dan gairah mengoleksi musik.

Siapa bilang rilisan fisik telah mati?

Dicetuskan di Amerika Serikat pada tahun 2007, RSD kini diperingati di berbagai lokalitas dunia dengan pelbagai gelaran acara, baik silaturahmi penggemar/kolektor, diskusi, pameran seni, konser mini, perlelangan, dan peguyuban lapak piringan hitam. Dukungan terhadap RSD pun mengalir deras dari berbagai pihak, terutama dari kalangan artis, musisi, selebriti dan band papan atas. Selain silih berganti menjadi duta RSD, banyak pula pelaku industri musik yang mencetak piringan hitam dengan edisi terbatas, tepat saat perayaan RSD.

Band cadas Metallica yang menjadi duta ‘tak-resmi’ RSD #1 pada 19 April 2008, terpilih sebagai duta resmi RSD 2016 dan mereka akan meluncurkan sebuah boxset yang bermaterikan master ulang dari dua album pertamanya; Kill ‘Em All dan Ride the Lightning. Rilisan itu juga dibarengi dengan peluncuran cakram padat Liberté, Egalité, Fraternité, Metallica! yang merupakan rekaman konser mereka di Le Bataclan, Paris pada 11 Juni 2003. Metallica akan mendonasikan seluruh hasil penjualan cakram padat tersebut kepada lembaga amal tragedi konser Eagle of Death Metal yang terjadi November 2015 silam.

Beberapa kaset Metallica yang dirilis di Indonesia.
Beberapa kaset Metallica yang dirilis di Indonesia.

Saat ini di dunia maya pun tengah beredar sebuah daftar tentang cakram-cakram edisi khusus yang sedianya diluncurkan secara eksklusif pada hari RSD mendatang. Walau tak menyebutkan secara pasti toko-toko yang beruntung menjual rilisan-rilisan edisi khusus itu, tentu menggembirakan membaca The Doors – Live at the Aquarius: The First Performance (direkam 21 Juli 1969) kini bisa didapatkan dalam format piringan hitam, walau hanya 5000 kopi. Salah satu album kesukaan penulis, And The Glass Handed Kites oleh Mew, band progressive rock asal Denmark pun akan dirilis sebagai piringan hitam sejumlah 2000 kopi pada gelaran RSD 2016.

Kelangkaan semacam ini ditambah haru-biru nostalgia tentunya mendorong muncul kembalinya ‘comeback’ piringan hitam sebagai format favorit dewasa ini. Penjualan piringan hitam terus menanjak dan apa yang tak terbayangkan satu dekade silam, kini menjadi kenyataan; piringan hitam diburu dan laku keras.

Menurut laporan akhir tahun dari Nielsen Company, penjualan piringan hitam di Amerika Serikat pada tahun pembukuan 2015 menembus angka 12 juta keping, dibanding 2.8 juta keping di tahun 2010. Hal menarik di balik angka penjualan yang fantastis ini adalah fakta bahwa 45% transaksi terjadi di toko-toko musik independen yang lebih mengutamakan koleksi musik yang khas, interaksi komunitas, back catalogue, dan pembelajaran akan sejarah atau genre-genre musik yang spesifik.

Lalu bagaimana dengan skena piringan hitam di Bali?

Nampaknya tren rilisan fisik di Bali tengah mendapat angin cukup kencang. Pertama, beberapa band di Bali telah merilis karya mereka dalam format piringan hitam, termasuk Superman is Dead (The Early Years, Blood, Sweat and Tears – 1997-2009, 12”, 2012), Dialog Dini Hari (Lengkung Langit, 7”, 2012) dan Parau (Torture Without Reprive, 7”, 2013 & Ragenaissance, 12”, 2014). Rilisan-rilisan fisik ini menambah panjang daftar seniman-seniman di Bali yang memuliakan kesejarahannya melalui piringan hitam, dan sesungguhnya Bali mempunyai pengalaman panjang bila berbicara keterhubungannya dengan piringan hitam.

Dialog Dini Hari (Lengkung Langit, 7”, 2012)
Dialog Dini Hari (Lengkung Langit, 7”, 2012)

Selain segudang rilisan tabuh dan gending Bali dalam format piringan hitam oleh label rekaman asing semisalnya Music from Bali (United Artist International UNS 15535, 12”, 1967), Barong Drame Musical Balinais (Disques Vogue France LD 763, 12”, 1971), atau Dancers of Bali (Columbia Masterworks ML 4618, 1974), ada juga rilisan tabuh Bali yang direkam dan diterbitkan pihak domestik seperti Gamelan Bali: Keluarga Putera Bali Purantara Jogjakarta (ARD-038, 10”, tahun tidak diketahui) oleh pabrik piringan hitam milik negara, Lokananta Records di Surakarta.

Piringan hitam musik Bali, dulu dan sekarang
Piringan hitam musik Bali, dulu dan sekarang
Gamelan Bali: Keluarga Putera Bali Purantara Jogjakarta (ARD-038, 10”, tahun tidak diketahui)
Gamelan Bali: Keluarga Putera Bali Purantara Jogjakarta (ARD-038, 10”, tahun tidak diketahui)

Lokananta “alunan merdu gending-gending surgawi” yang ditetapkan sebagai label rekaman oleh Pemerintah Republik pada tahun 1961 menjadi kebanggan bangsa dan aktif merekam kekayaan lagu daerah dan kekaryaan para maestro musik nusantara. Sempat mati suri di awal tahun 2000-an, Lokananta kini menggeliat kembali sebagai bagian Perum Percetakan Negara Republik Indonesia dan tak hanya bergerak dalam bidang pengarsipan sejarah musik nusantara, namun kembali menjadi label rekaman untuk mengakomodasi kekinian musik Indonesia.

Selain bekerjasama dengan Lokananta Records, Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia pada dekade 1970-1980 aktif juga menerbitkan khazanah seni budaya nusantara dengan label rekaman lain, ambil contoh Essentials of Ramayana (IRAMA/J&B Pressings, LMK 197101-LMK 197102, 2×12”, 1971) yang merupakan edisi khusus untuk merayakan Festival Ramayana Internasional di Pandaan, Jawa Timur, September 1971.

Bila dirunut lebih jauh, pengekalan kesenian Bali dalam format piringan hitam sudah tercatat di tahun 1951 dalam rilis Music of the Orient (Decca Records, 2x 12”, 1951), sebuah kompilasi musik-musik dunia non-Barat yang dikurasi oleh Erich M. von Hornbostel, pionir musik-musik dunia asal Austria. Double LP yang bermaterikan musik etnik dari Jepang, China, Persia (Iran), Tunisia, Siam (Thailand), Jawa dan Bali ini menjadi membuka jalan bagi dunia, khususnya pakar-pakar etnomusikologi untuk mengenali dan menganalisa gamelan Bali.

Namun, trek-trek seperti Tjetjing-Keremen, Putih-Putih Saput Anduk atau Lagu Kebiar yang ada dalam kompilasi tersebut sesungguhnya bersumber dari rekaman-rekaman bersejarah 1928-29 yang dilakukan label rekaman Jerman, Odeon & Beka.

Rekaman bersejarah?

Pada tahun 1928, Odeon & Beka, anak perusahaan konglomerasi Carl Lindstorm meluaskan cakupannya ke Bali dengan tujuan sederhana: merekam pelbagai komposisi gamelan dan nyanyian Bali, lalu menjualnya kepada masyarakat Bali. Dipandu oleh duo A&R (artist & repertoire) Ida Boda, maestro légong dan topéng dari Geria Buda Kaliungu, Denpasar dan Walter Spies, pelukis Jerman yang dikenal aktif mempromosikan Bali, Odeon dan Beka berhasil merekam dan menerbitkan 111 matrix (sisi piringan hitam 78 rpm) pelbagai tabuh, kidung, tembang, dan kakawin oleh berbagai sekaa dan penembang legendaris dari seluruh Bali.

Piringan hitam 78 rpm dari rekaman bersejarah Odeon & Beka 1928-29 dengan label dalam aksara Bali. Piringan hitam dalam gambar memuat rekaman Pupuh Adri dan merupakan satu-satunya cakram yang tersisa di dunia. Ditemukan oleh Dr. Edward Herbst di Arsip Japp Kunst di Universitas Amsterdam.
Piringan hitam 78 rpm dari rekaman bersejarah Odeon & Beka 1928-29 dengan label dalam aksara Bali. Piringan hitam dalam gambar memuat rekaman Pupuh Adri dan merupakan satu-satunya cakram yang tersisa di dunia. Ditemukan oleh Dr. Edward Herbst di Arsip Jaap Kunst di Universitas Amsterdam.

Rilisan fisik Odeon & Beka adalah rekaman komersial pertama karawitan Bali. Selain berhasil merekam kebangkitan baru ‘renaissance’ kesenian Bali yang direvolusi dengan kelahiran kebyar, rekaman Odeon & Beka adalah juga petanda kehebatan para tetua Bali dalam hal transposisi karawitan mengingat teknologi rekaman 78 rpm yang hanya berdurasi 3 menit dan direkam langsung-sekali saja, ‘one-take only’. Sebagai contoh, karya monumental Kebyar Ding oleh Made Regog, komposer hebat dari Belaluan yang biasanya berdurasi 15-18 menit, dipotong menjadi enam bagian. Para tetua Bali yang terlibat dalam rekaman historis itu bebas berekspresi dan mempunyai wewenang atas karya seninya, tak serta-merta diatur label rekaman.

Rekaman bersejarah ini tentu brilian, namun gagal secara finansial. Jangankan membeli orgel (istilah Belanda untuk mesin pemutar piringan hitam ‘turntable’) dan piringan hitam, memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja sulit bagi masyarakat Bali di masa itu. Ketidakmampuan menjual cakram-cakram tersebut berujung penghancuran seluruh rilisan yang tak terjual oleh agen-agen Odeon & Beka yang frustasi. Sebagian koleksi yang laku sampai ke Eropa dan Amerika menginspirasi kedatangan banyak peneliti asing ke Bali, dan kini koleksi Odeon & Beka menjadi barang langka dan mahal.

“Ketika romantisme tak bisa diunduh”

Sekelumit kisah piringan hitam di atas, ditambah pula dengan meningkatnya gairah generasi muda mengoleksi rilisan fisik dan kian banyaknya toko-toko piringan hitam independen di Bali membuat kita di Bali sangatlah pantas merayakan Record Store Day. Bahkan toko-toko ini (tak disangka ada 18 lapak musik independen dewasa ini di Bali!) bergabung sebagai BRAM (Bali Record and Merchandise) dan merekalah yang bersatu-padu melaksanakan dan mengelola RSD Bali yang sebelumnya hanya dirayakan secara kasual-lingkup terbatas menjadi sebuah selebrasi akbar.

Road to RSD Bali 2016 digeber, bergiliran dari satu toko ke toko berikutnya, media sosial diakrabi, dan koleksi musik pun dipamerkan serta dibicarakan. Para pemula, penggemar dan kolektor vinyl bertukar pengalaman tentang memilih dan memilah koleksi musik ‘crate digging’ dan berburu koleksi ‘record hunting’. Dalam satu kesempatan Road to RSD Bali 2016, Kaset Kulcha meramaikan malam dengan meramu set DJ menggunakan kaset.

Cerita selalu melebar, tapi semua bersepakat bahwa kecintaan terhadap rilisan fisik kental adanya. Jatuh hati kepada piringan hitam memang mudah adanya.

Pertama, kualitas audio lossless “tanpa kompresi’ dari vinyl menggaungkan penikmatan suara ‘aural experience’ yang hangat dan intim, seolah band atau penyanyi sedang berdendang di hadapan sang pendengar. Bunyi mendesis dan mendedas yang klasik saat jarum menyusuri alur ‘groove’ piringan hitam pun mencandukan.

Kedua, piringan hitam mempunyai daya tarik visual yang tinggi. Secara fisikal-artistik, piringan hitam menarik dilihat (terutama saat berotasi), dipegang dan umumnya sampul dan kemasan album didesain sebagai ekspresi estetis yang informatif dan bisa berdiri sendiri sebagai karya seni rupa, layaknya poster atau lukisan. Simak pula cakram bergambar ‘pictured vinyl’ ketika sebuah imaji atau ilustrasi disablon langsung pada permukaan cakram.

Picture vinyl dari single Torture Without Reprive oleh Parau (7”, 2013)
Picture vinyl dari single Torture Without Reprieve oleh Parau (7”, 2013)

Selanjutnya, aktivitas memburu, mencari dan memilah piringan hitam ‘record hunting’ adalah pengalaman yang mengasyikkan dan penuh kejutan. Mutu yang baik dan jumlah terbatas dari rilisan adalah harta-karun, yang seiring waktu berbanding lurus dengan keuntungan. Bahkan, bagi para kolektor, membersihkan dan merawat koleksi adalah hal yang sangat personal bagaikan meditasi dan terapi.

Terakhir, kecintaan mendalam akan rilisan fisik menggugah orang berkumpul, saling kenal dan berinteraksi. Memajang, memutar dan membicarakan koleksi seharusnya bermuara pada pemahaman akan seni dan pengetahuan musik yang lebih komprehensif, bukan semata-mata ajang mendadak gaul ‘being cool’ dan melambungkan harga-harga dari koleksi; pelbagai kepalsuan yang harus kita hindari dalam pelaksanaan RSD Bali perdana ini.

Mari ramaikan Record Store Day Bali, Minggu 17 April 2016 di Rumah Sanur Creative Hub, Sanur dari pukul 13.00 Wita dan pastikan selalu ada cinta kepada rilisan fisik.

Marlowe Bandem
Penikmat musik & mantan DJ vinyl 1995-2000

Agenda Record Store Day Bali 2016
Agenda Record Store Day Bali 2016

Dukung toko musik independen di Bali:

2nd Floor Secondhand Shop
Jl. Tukad Pakerisan 75xx, Panjer – Denpasar

Artyfacts Store
Jl. Danau Tempe – Denpasar

Berani Records
Jl. Ahmad Yani Utara – Denpasar

Darkigdom
Jl. Waturenggong No. 130C, Panjer – Denpasar

Deformed Store
Jl. Raya Alas Kedaton, Desa Kukuh (Selatan SMPN 2) Marga – Tabanan

Demajors Bali
Jl. Noja 1 Gg. 4 No. 2 Kesiman Petilan – Denpasar

Hamstore Records
Jl. Mertasari 64, Den Carik Kerobokan – Badung

Kapsul Waktu
Jl. Tukad Pancoran I No. 2 – Denpasar

Ki Go Block Music
Jl. Rahayu VIII/20 – Wahyu Bernasi Permai, Buduk, Mengwi – Badung

Memoria Record Store
Jl. Dewi Sri 4, Pertokoan Surya Mas 1 (Hari Ini Coffee Bar & Kitchen), Kuta – Badung

Rewind Record Store
Jl. Pantai Batu Bolong No. 77, Canggu – Badung

Sindikat Pesta Kebon
Jl. Dewi Madri IV No.2B – Denpasar

Slashtrack
Jl. Tukad Barito Barat No. 3A, Panjer – Denpasar

SUB Store Bali (Tondo Art Store – 2nd floor)
Jl. Merdeka – Graha Merdeka Unit C, Renon – Denpasar

Taman Belakang
Jl. Kubu Gunung (Kampus Mapindo), Dalung

Temday Bali
Jl. Nangka Selatan 127 – Denpasar

Westside Muzeeq
Jl. Tukad Penet No.1 Renon – Denpasar

Zeviors Store
Jl. Mawar No. 37, Tabanan

Baca juga:

2015 U.S. Music Year-End Report
Metallica Revealed as Record Store Day 2016 Ambassadors
Pemugaran, Penyebaran, Dan Pemulangan Kembali Rekaman Musik Dan Film Yang Dibuat Pertama Kalinya Di Bali Pada Tahun 1928
Record Store Day Official
Tentang Lokananta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *