The breathtaking view from Mount Ijen

Roadtripping ke Mount Ijen & Teluk Ijo (Green Bay) Banyuwangi

Belakangan ini Banyuwangi kian menambatkan namanya pada peta pariwisata Jawa Timur.

Banyuwangi, here we come …

Ungkapan “I left my heart in Banyuwangi” atau “Banyuwangi bersih, murah dan ramah” makin sering terdengar di kalangan para pelancong, baik domestik maupun internasional.

Di awal bulan Oktober 2016 silam, saya memutuskan untuk mengunjungi Banyuwangi melalui perjalanan darat. Berangkat pagi hari, perjalanan dari Denpasar menuju Gilimanuk relatif mengasyikkan — jalanan mulus dan tak terlalu padat — kurang lebih 3.5 jam kami tiba di Pelabuhan Gilimanuk. Setelah melewati pos pemeriksaan KTP dan STNK mobil, serta membayar tarif penyeberangan sekitar Rp. 200.000,- untuk 5 penumpang dan 1 kendaraan golongan IV (sedan/jip), kami pun menumpangi kapal ferry yang lengang.

Sudah lama saya tak melakukan road trip, berpetualang menyusuri daratan dengan kendaraan — apalagi ke Banyuwangi —  yang bisa dikatakan berada di urutan  bawah pada daftar destinasi yang ingin saya kunjungi di Nusantara. Ada stigma  yang melekat selama beberapa dekade pada Banyuwangi sebagai daerah tertinggal, tidak happening dan jauh dari hingar-bingar pariwisata. Kalau pun ada, meluncur sambil melenggok-lenggok seirama dan selajunya ombak raksasa di G-Land bukan untuk orang sembarang.

Namun seiring geliat ekonomi kreatif  lokal yang kian bergairah dan berjamurnya festival seni-budaya bertaraf internasional seperti Jember Fashion Carnaval dan Karnaval Etnik Banyuwangi, Banyuwangi pun makin terbuka, dilirik dan mewangi. Akses makin mudah, akomodasi berbintang hadir, dan atraksi turistik dipetakan dan kian dipromosikan.

Dan, aura berwisata itu telah terasa saat kami masih di ferry, ketika para awak kapal — layaknya pemandu pariwisata tersertifikasi — ramai mengisahkan dan membicarakan atraksi turistik yang wajib kami singgahi. Apalagi setelah meninggalkan Pelabuhan Ketapang dan memasuki kota Banyuwangi,  semangat “tourism-ready” itu pun terpapar pada banyak billboard di sepanjang jalan protokol, mempromosikan beragam perhelatan, lengkap dengan pelbagai slogan seperti Sunrise of Java, termasuk juga tagar #visitbanyuwangi.

Google Search pun menawarkan banyak informasi akan “pariwisata Banyuwangi”. Selain situs resmi Banyuwangi Tourism, lebih dari 10 destinasi unggulan pun muncul di layar smartphone, yang kebanyakan berhubungan dengan wisata alam pantai, gunung dan hutan lindung.

Pulau Merah, Teluk Ijo, Taman Nasional Baluran, Gunung Ijen, Suku Osing (Using) mendominasi pencarian singkat Google.

Kami pun memutuskan untuk nyegara-gunung – sebuah filosofi Hindu Dharma – melakukan perjalanan mengunjungi laut dan gunung untuk meruwat dan menyucikan pikiran, tubuh, dan jiwa (mind-body-soul) sekaligus memberi penghormatan kepada keagungan alam semesta.

Setelah menghabiskan senja di kolam renang dan makan malam di seputaran kota, kami bersantai menanti tengah malam untuk memulai perjalanan ke Gunung Ijen. Menjelang tengah malam, kami dibangunkan dan dijemput oleh travel yang hendak mengantar kami menuju Pos Perhutani Paltuding di kaki Gunung Ijen.

Perjalanan kurang lebih sejam, menumpang mobil ‘karoseri lokal’ Trooper 4×4  dengan biaya perjalanan Rp. 800.000,- pulang-pergi termasuk jasa supir. Bapak supir pun menyiapkan masker berfilter bagi seluruh penumpang. Masker ini berguna untuk menyaring udara dan menghindari sesak nafas dari terpaan asap tebal dan bau menyengat gas belerang saat melihat kobaran blue flame di dasar kawah Ijen.

Yes, selain pengalaman trekking dan mendaki gunung yang selalu menantang, Gunung Ijen setinggi 2443 mdpl juga terkenal karena Kawah Ijen –  danau kawah yang dipenuhi air bersifat asam berwarna hijau toska – dan fenomena semburat api biru ‘blue flame‘ yang hanya bisa disaksikan di Ijen dan Islandia.

Kala ke Ijen, ingat …

Berapa catatan penting bila hendak melihat Kawah Ijen dan blue flame:

Pertama, fenomena blue flame hanya bisa dinikmati pada saat langit masih gelap, sehingga ada baiknya mulai mendaki paling lambat pukul 2.30 AM (dini hari). Pendakian sampai puncak (kurang lebih 2-2,5 jam) sesungguhnya tidak terlalu berat – jalur pendakian Gunung Ijen cukup landai, lapang dan halus – malahan bagi mereka yang ingin bersantai dan berkontribusi lebih kepada masyarakat sekitar, bisa menyewa jasa rickshaw (becak tarik) yang dioperasikan para penambang belerang. Ditarik naik oleh 3 orang menggunakan gerobak belerang, pendaki bisa duduk berselimut sampai puncak menikmati taburan bintang. Biaya sekali jalan adalah Rp. 600.000,- saat naik, dan Rp. 200.000,- saat turun.

Kedua, sehat fisik dan mental, serta menyiapkan senter, baju hangat (jaket), sarung tangan, topi dan slayer mengingat jalur pendakian gelap dan diterpa hawa dingin. Masker berfilter pun mesti disiapkan bila hendak melihat fenomena api biru di dasar kawah. Terpaan gas dan awan sulfur menusuk hidung dan berbahaya bagi kesehatan.

Bagi penggemar astronomi, sebaiknya membawa teropong karena jalur pendakian dini hari yang gelap gulita (selama tak mendung) akan bertabur cahaya bintang.

Kemudian, pastikan membawa snack dan air secukupnya, yang bisa dibeli di pos pendakian di kaki gunung. Sepanjang perjalanan tidak ada pedagang snack, hanya di pos peristirahatan pertama terdapat sebuah kantin dengan tawaran makan-minum yang sederhana.

Walau tak terlalu dibutuhkan, ada baiknya menyewa jasa pemandu ‘guide’ lokal yang akan menemani sepanjang pendakian. Biayanya rata-rata Rp. 250.000,- di luar tipping. Saya selalu memanfaatkan jasa pemandu kala mendaki gunung, karena memberi rasa aman dan lebih penting lagi adalah adanya teman berbincang dan insider story tentang kisah-kisah yang melekat dengan gunung, budaya dan kehidupan masyarakat setempat.

Terakhir, dan terpenting adalah untuk selaku memberi jalan kepada para penambang belerang, terutama saat meniti jalur berbatu dan berkerikil dari puncak Ijen ke lokasi blue flame di dekat danau-kawah. Beban 60-70 kilogram belerang yang dipanggul membuat mereka mesti bergerak cepat tanpa interupsi.

Teluk Ijo: Menjura laut lepas untuk meruwat tubuh dan membasuh jiwa …

Keesokan hari, kami beranjak ke Pantai Pulau Merah yang berada di Dusun Pancer, Sumberagung, Banyuwangi. Jaraknya dari pusat kota sekitar 70 km menuju arah selatan, menyusuri jalanan yang padat sepanjang Srono, Karetan sampai Kesilir.

Namun info mengenai limbah lumpur yang mencemari kawasan Pulau Merah sejak awal tahun, dan suasana turistik massal yang pasti ramai dan riuh membuat kami berkecil hati untuk mengunjungi pantai tersebut. Tujuan pun dirubah, mobil melipir menuju Taman Nasional Meru Betiri dan GPS mengikuti arah ke Desa Sukamade.

Setelah melapor, mencatat identitas diri, dan membayar retribusi di Pos Penjagaan Perhutani Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Sukamade, kami pun masuk kawasan Taman Nasional Meru Betiri, menyusuri jalan berbatu dan tanah di kawasan hutan lindung selama sejam lebih atau sekitar 18 kilometer.

Suasana alam yang rimbun dan kehidupan pedesaan yang asri menghilangkan rasa penat. Sekitar pukul 16.00 WIB, kami tiba di pelataran parkir umum di Desa Rajegwesi, sebuah desa nelayan yang menjadi titik kumpul bagi para petualang pariwisata nomadik yang hendak mengunjungi Teluk Ijo (Teluk Hijau) atau Green Bay yang tersembunyi dan terpencil di balik perbukitan.

Pilihannya ada dua. Pertama, menaiki ojek, lalu trekking melintasi hutan jati dan karet ke arah Pantai Batu. Dari sana lanjut berjalan sekitar 300-500 meter menuju Teluk Ijo yang perawan dan terpencil.

Opsi kedua adalah menumpang atau menyewa taksi air (jukung) dengan ongkos Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) yang bisa ditumpangi lima-enam orang, termasuk empunya kapal.

Ketika saya berbincang dengan salah seorang warga setempat, terungkap sebuah sistem rotasi bagi taksi air yang beroperasi silih-berganti setiap harinya. Mengantar pelanggan dari Pantai Rajegwesi ke Teluk Ijo pulang-pergi dengan jadwal jelas, antar pagi dan jemput sore dengan biaya Rp35.000 per kepala. Kami beruntung diizinkan oleh kepala desa untuk mencarter satu perahu pada sore hari itu, dengan catatan perahu menunggu kami dan balik ke Pantai Rajegwesi sebelum jam enam petang. Ada pula kebijakan yang melarang pengunjung untuk bermalam di Teluk Ijo, dengan alasan keamanan.

Hampir 35 menit kami berperahu, menyusuri pesisir, mesin perahu menyalak keras, penuh tenaga mengimbangi arus laut lepas, a timid but blissful feeling. Memasuki teluk, pemandangan yang alami, mulai nampak jelas, dan gemercik air terjun yang deras menyambut perahu yang melambat dan berlabuh di bibir pantai.

Legenda bidadari-bidadari ayu dari kahyangan meruwat tubuh dan membasuh jiwa, menjura semesta Teluk Ijo sembari melukis pelangi di angkasa dikisahkan dengan seksama oleh pemandu. Dengan bisikan halus ia menutup kisah puitis di balik keindahan alam yang menghanyutkan itu, bahwa tersembunyi keangkeran dan tabu yang tak boleh dilanggar. Sangat dilarang mencemari alam dengan pikiran, aksi dan ujar yang tidak senonoh.

Nyegara gunung kami pun komplit, menjumpai dan menikmati Gunung Ijen dan Teluk Ijo menjadi petanda sakral bahwa merawat makrokosmos adalah mengasihi mikrokosmos. Langkah pun berat ketika mesti meninggalkan Teluk Ijo.


Catatan ini adalah informasi terkini pada saat kunjungan kami tertanggal 5-7 Oktober 2016, bilamana ada informasi yang perlu diperbaharui, silahkan ungkap melalui kolom momentar di bawah. Semoga bermanfaat.