Pendar Spiritual & Turistik Nusa Penida

Pulau Nusa Penida, di selatan Pulau Bali, mempunyai daya tarik spiritual dan bahari yang unik. Nusa Penida bisa dicapai melalui perjalanan laut dari pelbagai daerah pesisir di Bali seperti Benoa, Sanur, Kusamba dan Padangbai.

Penyeberangan dari Pelabuhan Tribuana, Kusamba, Klungkung hanya menempuh waktu 25 menit memakai speedboat berkapasitas 40 orang dengan ongkos Rp. 50.000,- sekali jalan. Sedangkan, penyeberangan dari Sanur, Denpasar memakai speadboat serupa akan menempuh waktu 40 menit dengan ongkos Rp. 75.000,- sekali jalan. Di masing-masing pelabuhan, ada pembedaan harga bagi WNI dan orang asing. Satu perbedaan lagi adalah tak adanya dermaga di Sanur, sehingga penumpang bisa basah kuyup saat menyusur lautan menuju dan menaiki kapal.

Di Nusa Penida, ada beberapa pura ‘tempat suci peribadatan’ yang umum dikunjungi oleh umat Hindu Dharma. Salah satu pura utamanya adalah Pura Dalem Nusa atau Pura Penataran Ped di Desa Ped, Sampalan, Nusa Penida yang merupakan salah satu tempat suci dalam konstelasi kahyangan jagat atau tempat beribadat yang ditujukan untuk memuliakan semesta, bersifat umum, dan terbuka bagi seluruh umat Hindu, tanpa memandang asal dan garis keturunan.

Kompleks pura yang terletak 50 meter dari bibir pantai ini terkenal karena legenda Ratu Gede Mas Macaling yang digjaya dan mampu meraih Panca Taksu ‘Lima Kekuatan Magis’ dari para dewata. Kelima inner-power tersebut meliputi taksu digwijaya (ilmu kesaktian), taksu balian (ilmu pengobatan), taksu pangeger (ilmu tenung), taksu panulak grubug (ilmu pengentas wabah penyakit), dan taksu kumaranan (ilmu pengasih).

Taksu atau caksu (dalam Bahasa Kawi yang berarti mata ketiga) bisa dimaknai sebagai kekuatan ilahi yang memendarkan kharisma, bakat, pesona, keunggulan, kebijakan dan hal-hal positif lainnya. Dalam seni pertunjukan, taksu kerap dihubungkan dengan stage presence dan inner beauty, ketika seorang penari dengan fasih menguasai panggung, menyihir penonton dan memberikan pementasan yang penuh kenangan.

Ada ujar di Bali yang menyimpulkan tentang ihwal taksu, yaitu “taksu wénten makudang-kudang sorohnyané, inggih punika taksu kabakta saking embas, taksu kapolihang saking malajah miwah taksu kapolihang saking nunas” yang berarti bahwa taksu ‘kekuatan magis’ ada banyak jenisnya, ada yang diberkati sejak lahir, ada yang dikembangkan melalui berguru dan belajar, dan ada yang didapat sebagai anugerah karena memohon kepada semesta dan Sang Pencipta.

Dan, di Pura Dalem Nusa, taksu dipuja dan diburu.

Pura Dalem Nusa ini memiliki empat pura utama yaitu Pura Segara, Pura Taman, Pura Ratu Gede dan Pura Panataran Agung. Tata urutan persembahyangannya pun demikian, mulai dari Pura Segara, Pura Taman, Pura Ratu Gede dan berakhir di Pura Panataran Agung. Bagi saya yang awam dan memiliki spiritualitas yang sederhana, Pura Segara adalah domain pemuliaan air sebagai sarana meruwat makro dan mikrokosmos, Pura Taman adalah tempat suci bagi pemujaan keindahan — konon dewa-dewi turun dari kahyangan dan bercengkerama bermandikan cahaya di taman yang asri, dikelilingi kolam penuh dengan lotus merekah — kemudian Pura Raru Gede adalah tempat penghormatan bagi Ratu Gede Mas Macaling — di sini, umat memohon ketajaman akal budi, keutamaan perilaku dan keelokan perangai, dan terakhir Pura Panataran Agung adalah kompleks palinggih ‘tugu-tugu pemujaan’ bagi dewata yang berstana di segenap penjuru suci pada kosmologi Hindu Dharma.

Piodalan atau perayaan hari jadi pura datang setiap 210 hari dan jatuh pada Buda (Rabu) Wage Klawu menurut penanggalan Bali. Di tahun 2017, piodalan ini akan jatuh pada 4 Januari 2017 dan 2 Agustus 2017. Di hari tersebut, piodalan akan berpuncak dan ribuaan umat Hindu Dharma akan hadir ngayah ‘sukarela membantu pelaksanaan upacara’ dan maturan ‘bersembahyang’, menghaturkan puja-puji syukur kepada semesta. leluhur dan dewata. Dewasa ini, piodalan di Pura Dalem Ped kerap dimaknai sebagai pemujaan kepada Ida Bhatara Sri Sedana, dewa dan dewi kemakmuran dan kesejahteraan — Sri berkaitan dengan beras, dan Sedana berhubungan dengan uang atau nafkah.

Bagi para wisatawan, kompleks pura ini tetap bisa dikunjungi dengan syarat memakai busana adat madya ‘sederhana’ Bali — kain dan selendang — dan para pengunjung wanita tidak diperkenankan memasuki areal pura bila sedang haid. Sesungguhnya, tak banyak pantangan atau larangan bilamana seseorang hendak mengunjungi pura-pura di seantero Nusa Penida ini, baik untuk bersembahyang atau  sekedar menyelami nuansa spiritualnya saat berplesir — just be sensible and use common sense.

Bila masih ada waktu untuk diulur, Nusa Penida pun menawarkan beberapa spot turistik — panorama pesisir yang relatif tak terjamah pariwisata massal — untuk diburu dan dinikmati. Sebut saja Pasih Uug ‘Broken Beach’ dan Angel’s Billabong yang berdekatan, di pesisir selatan pulau. Walau medannya penuh tantangan, belum terlalu populer dan tersembunyi, sehari-harinya, kedua tempat ini bisa dikunjungi ratusan pengunjung, baik lokal maupun asing.

Pasih Uug ‘Pantai Rusak’ atau Pasih Karang Bolong ‘Tebing Berlubang’ atau dalam sebutan wisatawan asing ‘Broken Beach’ terletak sejam (dengan kendaraan, mobil atau motor) dari Pura Dalem Nusa, dan berdekatan dengan Angel’s Billabong. Kedua destinasi tersebut tengah naik daun di antara para petualang dan pelancong, khususnya sebagai destinasi swafoto yang unik dan apik.

Dilihat dari bird-eye perspective satelit Google, jelas terlihat lubang raksasa yang menganga di pesisir pulau, perwajahan yang menjadi asal-muasal nama Pasih Karang Bolong.

Google Bird Eye View - perwajahan Pasir Uug dari angkasa
Google Bird Eye View – perwajahan Pasir Uug dari angkasa

Sesungguhnya tak banyak yang bisa dilakukan di Pasih Uug selain duduk mengagumi panorama sambil menyeruput kopi panas atau menikmati kelapa muda utuh yang bisa dibeli dari beberapa warung darurat di sekitar sana. Saya tak berhasil mendapatkan informasi tentang keberadaan para nelayan yang mau menyewakan perahu ‘jukung’ untuk melintasi laut lepas dan masuk ke Pasih Uug melalui terowongannya. Better luck next time.

Menyusuri bukit ke selatan, pengunjung akan melintasi jalan tanah berkelok dan rerimbunan — semak belukar setinggi pinggang — sepanjang 500 meter menuju Angel’s Billabong ‘kolam permandian para bidadari’. Saya beruntung air laut saat bulan  mati ‘tilem‘ sedang surut, sehingga saya bisa memetakan jalur melewati hamparan karang yang tajam bak duri — akibat gerusan gelombang selama ratusan tahun. Surutnya air pun menjadi sebab penampakan indah dari Angel’s Billabong.  Billabong atau kolam mati atau genangan air nampak seperti infinity pool; gelombang atau ombak yang menyapu tembok karang serta-merta pecah memenuhi kolam dan kembali tumpah ke laut lepas, demikian seterusnya. Debur ombak yang sayup-sayup menambah damainya hari.

Catatan penting, jangan sesekali berpose menantang di bibir kolam — berbahaya dan mematikan — deburan ombaknya menyedot dan menenggelamkan, menurut seorang pemuda setempat yang pernah terlibat dalam upaya penyelamatan seorang wisatawan asing yang terhempas gelombang. Tamu itu tewas.

Satu catatan lagi, segera kunjungi destinasi ini karena akses ke areal telah diblokir kelompok pengusaha yang — konon — akan membangun sebuah resort ekoturisme, bukan egoturisme. Life is full of surprises, namun mari terus jaga alam dan ingat malu dong buang sampah sembarangan!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *